Terbaik News

Terbaik News merupakan berita berita yang lagi hot slot setiap harinya

Uncategorized

“Framing” Kebijakan pada Debat Capres

Debat antara calon presiden selalu berlangsung dengan sorotan yang intens. Era digital memang cenderung penuh gejolak, di mana informasi berlimpah ruah. Pilihan yang seringkali muncul hanyalah dua: pertama, mengikuti saran dari kecerdasan buatan (AI) yang menggunakan analisis algoritma canggih, sebuah tren yang semakin meningkat. Kedua, mengikuti arus informasi yang berputar di media sosial, yang juga mempengaruhi pemberitaan media utama.

Namun, dalam kesibukan debat Capres-Cawapres yang membahas kebijakan publik untuk Indonesia, terlihat ada sesuatu yang hilang. Debat semakin terasa seperti sebuah pertunjukan drama daripada pembahasan substansi kebijakan. Publik, terutama yang berada di tingkat bawah, tampaknya kebingungan akan arah kebijakan yang akan diambil dalam republik yang populasi penduduknya diperkirakan mencapai 281,64 juta jiwa pada tahun 2024 ini.

Ini juga terlihat dalam kurun waktu sekitar empat setengah tahun pemerintahan Kabinet Jokowi. Kebijakan publik semakin sulit dipahami oleh publik dan bahkan oleh pembuat kebijakan sendiri. Terlalu banyak kesalahan, bahkan ada beberapa menteri yang terpaksa diganti karena terlibat dalam kebijakan yang melenceng. Masalahnya adalah ketidakjelasan dalam hal kebijakan.

Mungkin masukan dari Kenneth Cukier, Viktor Mayer-Schönberger, dan Francis de VĂ©ricourt dalam buku mereka, “Framers: Make Better Decisions in the Age of Big Data” (2021) patut dipertimbangkan. Manusia, termasuk pembuat kebijakan di Indonesia, membutuhkan suatu kerangka pikir yang jelas untuk membuat keputusan yang tepat. Ini merupakan alternatif ketiga selain mengandalkan AI dan mengikuti arus informasi dari media sosial. Dengan memiliki kerangka pikir yang tepat, manusia dapat membuat keputusan dengan penuh keberanian, menggabungkan kemampuan dan tanggung jawab mereka. Kerangka pikir dapat diartikan sebagai prinsip dasar yang membimbing dalam pengambilan keputusan.

Baca Juga : Anies-Prabowo-Ganjar Dijadikan Action Figure

Prinsip


Prinsip merupakan landasan fundamental dalam berpikir, bertindak, dan menjalani kehidupan. Tanpa prinsip, suatu sistem kehidupan bersama akan kesulitan untuk maju dan menghadapi tantangan yang dihadapinya. Prinsip adalah kebenaran mendasar yang menjadi dasar dari sistem kepercayaan atau perilaku, serta menjadi landasan untuk proses penalaran.

Konsep ini juga berlaku dalam konteks organisasi modern, seperti yang diungkapkan oleh Drucker dalam bukunya “Management” (1972). Organisasi yang tidak memiliki prinsip cenderung mengalami kesulitan dalam berfungsi secara efektif. Mereka mungkin menghadapi masalah yang sama berulang kali tanpa mampu menyelesaikannya dengan baik, atau bahkan tanpa belajar dari pengalaman tersebut.

Dalam konteks bangsa dan negara, keberadaan prinsip juga sangat penting. Tanpa prinsip yang kuat, sebuah bangsa mungkin akan terjebak dalam siklus masalah yang berulang, tanpa kemajuan yang nyata. Hal ini bisa membuat bangsa tersebut kehilangan waktu, energi, kesempatan, dan semangat untuk menjadi lebih baik.

Kita sering merasa bahwa kita terjebak dalam masalah yang sama berulang kali, sehingga sulit untuk mencapai kemajuan yang signifikan. Sementara itu, bangsa-bangsa lain terus berkembang dan mencapai prestasi yang lebih tinggi. Hal ini dapat membuat kita merasa terpinggirkan dan kehilangan arah.

Oleh karena itu, penting bagi sebuah bangsa untuk memiliki prinsip yang kokoh sebagai landasan dalam menghadapi tantangan dan memajukan dirinya. Dengan memiliki prinsip yang kuat, sebuah bangsa dapat mengatasi masalah yang dihadapinya dengan lebih efektif, serta membangun fondasi yang kokoh untuk masa depan yang lebih baik.

Masalah yang Sama

Ada empat tantangan yang terus berulang dan sangat merugikan. Pertama, adalah kegagalan dalam melindungi seluruh rakyat dan darahnya. Ini terwujud dalam kasus-kasus seperti seorang ayah di Jakarta Selatan yang membunuh keempat anaknya, serta masalah kebocoran data warganegara.

Kedua, adalah kegagalan dalam menciptakan kesejahteraan bagi rakyat. Salah satu indikatornya adalah ketergantungan pada bantuan langsung, yang seharusnya tidak menjadi kebutuhan pokok. Seharusnya, rakyat mandiri dan tidak malu untuk bekerja keras, bukan bergantung pada bantuan. Namun, terkadang, kebijakan malah menciptakan pemiskinan pikiran.

Ketiga, adalah kegagalan dalam mencerdaskan bangsa. Masalahnya bukan hanya skor PISA yang rendah, tetapi juga kebijakan yang tidak mendukung peningkatan kualitas pendidikan. Cerdas bukan hanya soal gelar akademik, tetapi juga tentang kemauan untuk menjadi manusia yang baik dan bermanfaat.

Keempat, adalah kegagalan dalam memposisikan Indonesia sebagai pemain kelas dunia. Meskipun kita menjadi tuan rumah G-20, kita masih kesulitan dalam beberapa hal, seperti memasuki rantai pasok global dan memiliki perusahaan yang bersaing di skala internasional.

Semua masalah ini menunjukkan bahwa kita telah meninggalkan prinsip hidup bersama sebagai bangsa Indonesia. Prinsip ini seharusnya menjadi landasan setiap kebijakan publik kita.

Kebijakan Berpusat Prinsip

Kebijakan publik, mengikuti konsep dari Thomas R. Dye dalam “Understanding Public Policy” (2016), dapat diartikan sebagai segala hal yang dipilih atau tidak dipilih oleh pemerintah, alasan di balik pilihannya, dan dampak yang dihasilkan. Ini melibatkan tiga aspek utama: keputusan, pertimbangan moral, dan hasil keputusan.

Kebijakan publik yang berkualitas adalah kebijakan yang didasarkan pada keputusan yang baik, moral yang benar, dan hasil yang bermanfaat. Kesemuanya ini terhubung dengan satu hal: prinsip. Prinsip menjadi dasar dalam berpikir, bertindak, dan mengambil keputusan. Namun, mengapa banyak negara gagal dalam membangun kebijakan yang efektif untuk kemajuan bangsanya?

Salah satu penyebabnya adalah kurangnya framing atau prinsip yang jelas dalam pemerintahan. Beberapa pemerintahan mungkin tidak memiliki prinsip yang kokoh, atau bahkan memilih untuk mengabaikan prinsip tersebut demi kekuasaan atau alasan lainnya.

Framing atau prinsip kebijakan publik seharusnya berpusat pada kepentingan nasional dan bangsa, bukan kepentingan kekuasaan, partai politik, atau kepentingan pribadi. Ini adalah agenda pemerintah yang seharusnya berfokus pada kesejahteraan masyarakat secara keseluruhan, bukan hanya pada kelompok tertentu.

Sejak kemerdekaannya, Indonesia telah menetapkan prinsip-prinsip hidup bangsa dalam konstitusi, terutama dalam Pembukaan UUD 1945 dan Pancasila. Prinsip ini meliputi perlindungan, kesejahteraan, pendidikan, dan pencerdasan bangsa. Namun, dalam praktiknya, terkadang prinsip-prinsip ini diabaikan atau dilanggar.

Proses kebijakan publik terjadi dalam apa yang disebut Daren Acemoglu dan James A. Robinson sebagai “narrow corridor” (2019), di mana kekuasaan hanya berbicara dengan kekuasaan, dan kepentingan tertentu mendominasi. Ini bisa mengakibatkan pembentukan kebijakan yang tidak sesuai dengan prinsip-prinsip hidup berbangsa.

Penting untuk kembali kepada prinsip-prinsip hidup berbangsa dalam merumuskan kebijakan publik. Kebijakan publik yang baik adalah kebijakan yang menghasilkan dampak positif bagi masyarakat dan memperkuat bangsa. Ini membutuhkan komitmen untuk mengutamakan kepentingan nasional dan melindungi nilai-nilai bangsa.

Penutup

Kebijakan publik adalah istilah yang sering disebut akhir-akhir ini, namun juga seringkali disalahpahami atau disalahartikan. Terkadang, kebijakan publik dianggap sebagai perintah yang harus dipatuhi oleh rakyat, dengan tujuan agar rakyat menjadi sejahtera. Namun, hal pertama yang seharusnya dipertimbangkan adalah kesepakatan untuk berpegang pada prinsip bersama dalam kehidupan berbangsa, serta mengutamakan kepentingan bangsa yang telah tercatat dalam konstitusi.

Kebijakan publik seharusnya dilihat sebagai hasil kinerja dan fakta, bukan sekadar narasi atau retorika yang dibuat-buat, bahkan bukan angka-angka yang seolah-olah memberikan gambaran yang ilusif.

Namun, dalam hiruk-pikuk kampanye para Calon Presiden dan Wakil Presiden, gagasan dan narasi tentang kebijakan berprinsip pada kepentingan bangsa yang tertulis dalam konstitusi seringkali tidak muncul dengan jelas. Hal ini tidak hanya terjadi dalam materi kampanye, tetapi juga dalam dialog antara para kandidat, bahkan meskipun melibatkan para pakar terkemuka. Salah satu alasan yang diduga adalah karena isu ini dianggap tidak menarik secara politis. Namun, kita harus menyadari bahwa kebijakan publik bukanlah soal seberapa menarik secara politis, tetapi lebih pada apakah kita tetap memegang teguh prinsip-prinsip yang kita sepakati sebagai bangsa merdeka.

Ini merupakan sinyal kuat bahwa kebijakan publik di Indonesia dalam beberapa periode ke depan mungkin akan cenderung menjauh dari prinsip-prinsip intinya. Kemungkinan besar, akan terjadi pergantian menteri yang diikuti dengan perubahan kebijakan, atau bahkan konflik antarkebijakan. Ada juga kemungkinan kebijakan yang sengaja merugikan kepentingan bangsa, seperti penyerahan pemajuan ekonomi nasional kepada investor asing dengan cara yang tidak bijaksana, terutama dalam hal eksploitasi sumber daya alam.

Visi Indonesia Emas 2045 dihadapkan pada tantangan besar. Buku-buku seperti novel “The Ghost Fleet” karya P.W. Singer dan August Cole (2015), serta “The Next 100 Years” dan “The Next Decade” (2012) karya CEO Stratfor, George Friedman, memberikan peringatan keras bahwa Indonesia berada dalam ancaman kepunahan. Peringatan ini mengingatkan kita bahwa masa depan tidaklah semudah yang sering diperkatakan oleh para motivator politik dan ekonomi.

Dengan berpegang pada framing dan prinsip, Indonesia 2045 dapat menjadi negara yang berbeda dengan gambaran yang dipresentasikan oleh Singer-Cole atau Friedman.

Sumber : DetikNews

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *