Terbaik News

Terbaik News merupakan berita berita yang lagi hot slot setiap harinya

Uncategorized

Tanggal 14 Pilih Siapa?

“Pada tanggal 14 nanti, Bapak akan memutuskan pilihannya di bilik suara,” jawab saya ketika seorang penyiar radio bertanya kepada saya dalam siaran langsung, diikuti dengan tawa dari penyiar yang suka membuat narasumbernya tergelak. “Saya akan ke Jakarta untuk memimpin acara ‘Maluku for Ganjar’,” jawab seorang MC terkemuka kepada teman wanitanya yang bertanya tentang rencananya. “Mungkin kita memiliki pandangan yang berbeda,” ucap sang penanya, mengubah nada suaranya. “Saya adalah seorang MC profesional, jadi saya akan hadir dan memimpin acara, bahkan jika diundang oleh Prabowo,” tambah sahabat saya dengan tenang. Demi menghindari potensi konflik, saya memilih untuk tidak hadir secara langsung dalam kampanye, terutama yang besar. Lebih baik mengikuti melalui televisi saja. Saya masih ingat saat saya melihat kampanye besar saat Donald Trump melawan Joe Biden, walaupun hanya dari jendela mobil saat melintasi area Trump Plaza.

Baca Juga : Bagaimana Anak Muda Memilih Capresnya?

Nyanyian Riang atau Genderang Perang?

Pembicaraan semacam itu semakin sering terdengar belakangan ini. Pesta demokrasi yang seharusnya diisi dengan semangat kebersamaan, kini berubah menjadi pertarungan yang tegang. Suhu politik yang memanas telah menciptakan ketegangan di berbagai tempat, bahkan di tempat ibadah pun, di mana dua orang bisa bersitegang dengan keras karena perbedaan pandangan. Konflik antar anggota jemaat mengingatkan saya pada pepatah yang mengatakan, “Pertengkaran di gereja adalah pertengkaran terburuk!” Tempat yang seharusnya menjadi tempat kedamaian dan persaudaraan tercoreng oleh pertikaian antar jemaat.

Di sekitar kita, tetangga tidak lagi saling menyapa, bahkan di dalam keluarga pun terjadi pertengkaran. Pertanyaannya, untuk apa? Hanya untuk mempertahankan pilihan dan ego masing-masing. Keprihatinan ini membawa ingatan saya pada kunjungan ke kediaman Gus Mus di Rembang. Gus Mus bercerita tentang dua tetangga berbeda agama yang tinggal di lantai atas dan bawah. Suatu kali, tetangga yang tinggal di lantai atas berkunjung ke tetangganya yang tinggal tepat di bawahnya. Ketika melihat ember yang menampung air dari atas, ia bertanya, “Air ini dari mana?”

“Kayaknya dari kamar mandi kamu,” jawab tetangga yang tinggal di bawah.

“Sejak kapan?”

“Sudah cukup lama.”

Tetangga yang tinggal di atas merasa tidak enak dan meminta maaf dengan tulus. Tetangga yang tinggal di bawah menenangkannya. Ia lebih mementingkan hubungan baik daripada terus terlibat dalam konflik.

Gus Mus memang merupakan ulama yang patut dihormati. Saat saya mengunjunginya beberapa belas tahun yang lalu menjelang Lebaran, ia menunjukkan lukisan hitam-putih yang terpampang di dinding rumahnya sambil terus bercerita. Tulisan-tulisannya yang tajam juga saya kagumi. Salah satu karyanya tentang pemilu mengajarkan saya untuk tetap bersaudara meskipun memiliki pilihan politik yang berbeda. “Jika kita boleh meyakini pendapat kita sendiri, mengapa orang lain tidak boleh meyakini pendapatnya?” katanya.

Gimik atau Gemati?

Saat ngobrol sehabis makan malam dengan seorang anggota dewan, saya menanyakan mengapa sekarang banyak calon legislatif maupun calon presiden yang gemar menggunakan gimmick dalam kampanye mereka. Dengan senyum, dia menjawab, “Semua itu arahan dari tim sukses mereka, Pak.”

“Saya harap Anda tidak akan menjadi petugas partai yang hanya mengikuti perintah ketua partai jika terpilih nanti,” saya balas bertanya.

Anggota dewan yang dekat dengan konstituennya itu tertawa terbahak-bahak. Istilah ‘petugas partai’ bisa diartikan dalam berbagai cara, meskipun kebanyakan dianggap negatif. Bagi yang anti, seorang pejabat seharusnya melayani rakyat, bukan menjadi alat partai. Namun, pertanyaannya, rakyat mana yang akan dilayani? Apakah rakyat umum, atau hanya segelintir elit yang mendominasi secara ekonomi dan politik? Semua calon tiba-tiba saja menjadi pro-rakyat menjelang pemilihan. Pembagian-bagian bingkisan pun semakin marak belakangan ini. Namun, seharusnya yang mereka tunjukkan adalah empati yang tulus, bukan gimmick. Rakyat membutuhkan empati yang sungguh-sungguh, yang akan mereka kenang dan rasakan manfaatnya selamanya. Jika hanya gimmick, itu akan terlupakan setelah pemilihan selesai.

Buzzer dan Baper

Satu-satunya yang tidak hilang setelah pemilihan adalah buzzer. Para pendengung ini, baik yang dipicu oleh hati nurani (idealisme) atau motivasi finansial (disebut buzzerRP), selalu ada dan terus berdengung. Mereka bertugas membela kubu mereka dan menyerang lawan politik. Buzzer bisa berasal dari tim sukses, atau beroperasi secara independen. Seperti yang diungkapkan oleh Gus Mus, tak peduli isi postingan buzzer, kita tidak boleh terlalu terpengaruh. Baik atau buruk, kita harus membiarkan mereka menyampaikan pendapat mereka. Jika kita merasa ada logika atau kecerdasan dalam argumen mereka, kita bisa mempertimbangkan masukan tersebut. Namun, jika tidak, kita bisa mengabaikannya. Meskipun pilihan politik kita berbeda, kita tetap harus menjaga persaudaraan dan sikap saling menghormati.

Peniup Seruling dan Pencuci Piring

Setelah debat, buzzer bisa berkeringat karena mereka sadar bahwa upaya mereka dalam mempengaruhi pemilih, terutama swing voters, mungkin tidak berhasil. Blunder yang terjadi di arena debat membuat pekerjaan para buzzer menjadi lebih sulit. Sebaliknya, para “pencuci piring” – yang bertugas membersihkan dampak negatif dari kesalahan tersebut – menjadi sibuk membersihkan kekacauan yang terjadi. Mereka berusaha keras untuk membersihkan kotoran dengan sabun cuci klarifikasi, terutama ketika hasil survei belum tervalidasi.

Para “pencuci piring” inilah yang benar-benar bekerja keras. Terutama ketika kotoran yang harus dibersihkan sangat lengket dan sulit dihilangkan. Dalam prosesnya, mereka bahkan bisa terluka. Mengapa bisa terluka? Karena piring yang digunakan oleh calon presiden bisa saja berbahaya dan melukai tangan saat dicuci. Untuk itu, penting bagi mereka untuk berhati-hati.

Pesan di balik ini adalah, jika kita ingin berkontribusi pada negara, mari berfokus pada akal sehat dan kepentingan bersama, bukan sekadar mengejar pesta politik dan hura-hura. Tidak ada pesta yang abadi. Oleh karena itu, daripada hanya menjadi politisi, lebih baik menjadi seorang negarawan seperti yang diungkapkan oleh James Freeman Clarke: “Seorang politisi memikirkan pemilihan berikutnya. Seorang negarawan memikirkan generasi berikutnya.”

Sumber : DetikNews

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *